Dalam Menulis,
Perlukah Edjaan Jang Disempoernaken?

Oleh Mahbub Jamaluddin

Hakikat
Apa sih sebenarnya EYD itu? EYD adalah tata-cara berbahasa-tulis yang baik. Mengapa perlu ada tata-cara dalam berbahas-tulis, sih. Bikin repot aja.
Begini, kawan-kawan. Sebenarnya bahasa lisan dan bahasa tulis itu nggak jauh beda, koq. Bahkan, pada hakekatnya bahasa tulis merupakan sebuah usaha untuk mengungkapkan bahasa lisan ke dalam bentuk tulisan. Jadi ketika seseorang membaca buku, misalnya, maka sebenarnya ia sedang bercakap-cakap dengan penulisnya. Hanya saja, karena percakapan itu tidak terjadi secara langsung, maka pembaca membutuhkan semacam kode-kode yang bisa membantunya memahami tulisan itu. Banyak alat-alat bahasa lisan yang sukar digambarkan dalam bahasa tulisan, seperti lagu, jeda, tinggi rendah suara, tekanan, dan lain sebagainya. Nah, di sinilah peran ejaan berbahasa dalam mengurangi kesalahpahaman pembaca ketika menghadapi sebuah tulisan.
Sebelum kita bicara jauh tentang eyd (maaf, sejak sekarang aku nggak memperhatikan besar-kecil huruf. Komputer ini lagi agak rewel. Jadi harap maklum), marilah kita semua merenung sejenak—menurut kepercayaan dan agama masing-masing. Mari kita pikir lagi, apa sih sebenarnya tujuan menulis? Ini penting, mengingat faktor inilah yang akan menjadi titik-tolak pembicaraan kita tentang eyd!
Baiklah. Sebenarnya sangat beragam tujuan seseorang dalam menulis. Ada yang karena materi, ada yang karena ekspresi, ada yang demi dakwah, ada yang demi nama besar, dan ada pula yang karena membebek: ngikutin trend. Terlepas dari tujuan yang beraneka ragam itu, ada satu tujuan yang mengikat berbagai tujuan itu dalam satu simpul. Yakni, mereka menulis agar dibaca orang. Baik mereka yang memimpikan materi, mereka yang berusaha mengungkapkan ekspresi, mereka yang pengin berdakwah, atau yang pengin jadi seleb, semua membutuhkan faktor ini: karya mereka harus dibaca orang.
Nah, dari sini, kita bisa tahu bahwa pembaca adalah nomor satu bagi seorang penulis. Se-memusingkan apapun sebuah karya, ia membutuhkan orang yang bisa diajak berbagi untuk menikmatinya. Untuk menyerapi dan tenggelam dalam suguhan-suguhannya. Penulis ibaratnya seorang koki yang memasak tulisannya dengan bumbu-bumbu dan menyuguhkannya dengan hiasan-hiasan yang menggairahkan selera. Proses menyuguhkan inilah yang penting. Karena seenak apapun sebuah masakan, kalau wajahnya menjijikkan, siapakah yang mau nyentuh? Jangankan nyentuh dan nyicipin. Liat aja bisa muak atau bahkan mungkin muntah.
Demikian pula, penulis harus bisa menyuguhkan karyanya dengan baik. Apa suguhan seorang penulis? Bahasa. Ya, ba-ha-sa. Sekali lagi, b-a-h-a-s-a.
Seapik apapun karya kalian. Sebaik apapun kisah yang kalian angkat. Semenarik apapun tema yang kalian tuliskan. Jika bahasa kalian kacau acak-acakan, pembaca akan segera membuang bukumu begitu membaca kalimat pertama.
Memang, dalam proses penerbitan terdapat tahap ‘edit’ dimana sebuah naskah diobrak-abrik oleh seorang editor agar layak dilempar ke pasar pembaca. Tetapi hal ini seyogyanya tidak usah dipikirkan penulis. Urusan penulis yang terutama ialah menyiapkan karangan yang serapi-rapinya dan sebersih-bersihnya. Setidaknya agar pihak selektor-naskah dalam sebuah penerbit tidak mendapat kesan buruk terhadap tulisan yang kamu tawarkan.
Lalu apa yang musti dipelajari dari bahasa? Kaidah apa saja yang bisa kita hapalkan agar bisa membantu proses penulisan?
Tidak ada kaidah yang baku bagi seorang penulis. Bahkan banyak penulis yang tidak tahu teori tentang eyd dan teori-teori bahasa, meski mereka menggunakannya ketika mereka berkarya. Karena yang mereka butuhkan adalah praktek, bukan teori. Yang mereka lakukan hanya belajar dan rasa. Belajar dari karya-karya yang sudah ada, dengan membaca dan membaca. Lalu meresapinya dengan perasaan mereka—sedikit demi sedikit—hingga secara tidak sadar, bahasa tulis mereka pun terbangun dengan sendirinya. Tidak ada cara yang lebih murah dan efektif selain daripada cara ini. Karena menghapal teori-teori bahasa yang jumlahnya bejibun itu tidak akan banyak membantu kecuali hanya menghabiskan waktu saja.
Jadi, untuk mempertajam rasa-bahasa dan lebih khususnya rasa-eyd, kamu bisa menempuh cara dengan membaca berbagai macam karangan. Jika perlu, sediakan kamus untuk mencari kata-kata yang sulit dan ejaan-ejaan yang kurang kamu pahami. Lalu belajarlah dengan sering-sering mempraktekkannya.

Beberapa Keluhan Editor
Sebenarnya kesalahan dalam berbahasa adalah lumrah. Karena selain manusia memang mahallul-khotho’ wa nisyan, juga karena beberapa penerbit terkadang memiliki ejaannya sendiri. Meski demikian, terdapat kesalahan-kesalahan fatal yang perlu dihindari sehingga editor sebuah penerbit tidak mengeluh ketika menerima tulisanmu.
Nah, dari beberapa naskah yang sudah masuk ke redaksi Matapena, dan dari keluhan editor beberapa penebit, dapatlah aku menyimpulkan kesalahan-kesalahan parah dalam berbahasa yang biasanya diterjang oleh para pemula. Di antaranya adalah:
1. tanda petik dalam dialog
Kesalahan yang pertama inilah yang kerapkali membuat penerbit jadi pusing membaca tulisanmu. Karena ketika kamu tidak mengindahkannya, bentuk tulisan kamu jadi kacau. Belum membaca, melihatnya pun udah bikin enek dan gak sedep di mata.
Ketika menuliskan dialog, seyogyanya kamu membuatnya dalam paragrap baru. Lihatlah dan bandingkan dua contoh di bawah ini:
a. Topek hanya geleng kepala. Dan dialog pun terputus di depan kamar. Topek masuk dan Bayu yang melihat kelebat kang Kolid di depan kantor langsung menodong info. Dari lantai atas komplek A Bayu teriak. “kang Kolid! Aku mau bicara.” Kang Kolid yang baru keluar dari kantor Pondok menengok ke atas. Buru-buru Bayu menghampiri Kang Kholid. Ia turun tangga dan mendapati kang Kolid di depan komplek. “Ada apa? Pake teriak-teriak segala?” tanya kang Kolid penasaran. Dengan sedikit malu Bayu bertanya. “E, anu. Nanti malem ada undangan muqodaman ndak kang? Atu tahlilan, ato apalah?” Bayu nyengir. Kang Kolid senyum. “Aku tahu, lagi BD, ya?” “Apaan tuh BD?” Bayu bingung. “Butuh Duit!” Bayu hanya nyengir. “Ada ndak kang. Kalo ada aku diajak ya!” “Ada sih, tapi yang diundang anak-anak rebana.”Ah, Bayu agak lemes. Ah, lagi-lagi ia teringat Faisol. Seandainya dia ada, semuanya beres. Dia kan anggora grup rebana Al kariem. “Eh, tapi kayaknya ada lowongan kalo cuman satu orang. Kebetulan si Faisol kan sedang pulang tuh. Kalo kamu bisa main rebana, ikutan aja.”
b. “Kenapa sih Yu kamu demen banget baca majalah musik?” Topek tiba-tiba bertanya mengalihkan perhatian. Dan rupanya ia berhasil.
“Ceritanya panjang, Pek. Kita bahas nanti saja di kamar. Sekalian kamu tak kasih tahu rahasiaku.”
“Rahasia? Apaan tuh, Yu?” Topek malah dibikin penasaran sama Bayu.
“Ya nanti dong. Kalo tak omongin di sini entar ndak jadi rahasia lagi dong.”
“Masak? Ah, ya dah nanti aja kita bahas, kayaknya majalah ini bagus deh.” Topek mengambil sebuah majalah bergambar cewek cakep dengan dada telanjang. Maksudnya setengah telanjang. “Masyaallah…” bisik Topek dalam hati sambil tak henti-henti memandangi majalah itu. “Ini harusnya kena UU APP, Yu,”
“UU APP? Matamu melotot gitu? Nonsens!” Bayu protes. Lalu dengan sigap meraih dan memainkan gitar yang tergeletak di kursi panjang dari Bambu. Dulu gitar itu milik Jori, tapi sekarang milik Solekan. Bayu membuka majalah musik dan mulai mendendangkan sebuah lagu milik Dewa. ‘Sang pangeran cinta’.

2. tanya dan seru
Tanda tanya dan tanda seru tidak perlu dibubuhi dengan titik, dan hendaknya cukup menggunakan satu tanda seru atau tanda tanya saja. Contoh:
- Apakah kamu sudah makan siang?
- Pergi!
Contoh yang salah dan keliru:
- Apakah kamu sudah makan siang?.
- Pergi!.
- Pergi!!!!!!
- Masyaallah!?!?
3. titik dan koma
Titik dan koma seharusnya digandeng dengan kalimatnya. Contoh:
- Saya pergi mampir ke rumah Cintia, ngobrol sebentar, dan kemudian pergi ke sekolah.
Contoh yang keliru:
- Saya mampir ke rumah Cintia , ngobrol sebentar , dan kemudian pergi ke sekolah .
Selain itu, membubuhkan tanda koma hendaknya juga seefektif mungkin. Sehemat-hematnya. Karena sebagaimana tanda baca yang lain, koma hanyalah merupakan alat bantu saja. Menampilkan terlalu banyak alat bantu hanya akan menghambat kelancaraan pembaca dalam menikmati tulisanmu.
Contoh:
- Bagaimanapun, seorang santri harus memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan juga berakhlak mulia.
Contoh yang nggak baik:
- Bagaimanapun, seorang santri, harus memiliki rasa percaya diri yang tinggi, dan juga, berakhlak mulia.

4. di+tempat dan di+kerja
Ini juga masalah yang akut. Meski tidak terlalu mencolok, tetapi bisa membuat editor risih. Kata depan ‘di’ harus dipisah ketika bertemu dengan kata benda. Contohnya, di rumah, di pasar, di sekolah, di pesantren, dan lain-lain. Sedangkan ketika kata depan ‘di’ bertemu dengan kata kerja, maka ia harus digandeng. Contohnya, dimakan, ditempeleng, digerakkan, dibenahi, dan lain-lain.
5. kpts
Kesalahan kategori kelima ini nggak begitu fatal. Di sini aku hanya ingin mengingatkan aja, mengingat banyak orang yang keliru dalam menggunakannya. Setiap kata dasar yang berawalan k, p, t, s, ketika bertemu dengan awalan me, maka huruf-huruf itu menjadi luntur alias hilang.
Contoh:
Percaya+ me-i à memercayai, bukan mempercayai
Posisi+me-kan à memosisikan, bukan memposisikan
Kawin+ me-kan à mengawinkan, bukan mengkawinkan
Sapu+ me à menyapu, bukan mensapu
Terima+ me à menerima, bukan menterima
Adapun yang bukan kata dasar, seperti kata jadian dan kata bentukan, yang berawalan k-p-t-s, jika bertemu dengan awalan me, hukumnya tetap.
Seperti: pertaruhan+ me-kan à mempertaruhkan, bukan memertaruhkan; pertanggungjawaban+me-kanà mempertanggungjawabkan, bukan memertanggungjawabkan. Dan lain-lain.

· Beberapa Polesan
Biar bahasa tulisan kalian tambah menarik, hendaknya kalian juga memerhatikan kaidah-kaidah—yang meskipun hukumnya cuma ‘sunat’ tetapi perlu diingat-ingat. Beberapa kaidah itu:
1. kalimat panjang dan kalimat pendek
Kalimat yang terlalu panjang akan membuat pembaca pusing. Sedangkan kalimat yang pendek-pendek terus, akan membuat tulisan terasa tidak utuh dan terputus-putus. Keduanya sebaiknya digunakan dengan berselang-seling.
Contoh penggunaan kalimat-kalimat pendek:
Satu hal selesai yang lain datang mengguncang. Ini bukan persoalan sepele. Ini persoalan mengerikan. Romo kyai memecat aku. Sebenarnya sih aku belum tahu secara pasti. Tapi begitulah. Aku tidak dipanggil lagi. Dicuekkin.
Contoh penggunaan kalimat-kalimat panjang:
Ketika malam menjadi gulita dan burung-burung kembali ke sarangnya, aku sendirian terpekur di kamar khodam. Beberapa hari ini, sebuah permasalahan yang mengerikan—setidaknya menurutku—begitu menguasai seluruh hidupku, membelenggu pikiran, dan mengisi lamunan-lamunanku. Sebenarnya aku sendiri tidak tahu pasti apakah kyai telah memecatku atau belum, mengingat belum ada surat pe-ha-ka yang sampai kepadaku. Tetapi gelagat yang kutangkap dari sikap, tatapan mata, dan keacuhan kyai ketika aku menghadap, dan juga karena aku tidak pernah dipanggil lagi oleh kyai, aku menemukan sesuatu yang tersirat bahwa aku telah dipecat!
Contoh penggunaan variasi antara kalimat pendek dan panjang:
Satu permasalahan telah selesai. Sedangkan yang lain datang mengguncang. Ini bukan persoalan sepele. Ini persoalan mengerikan. Romo kyai memecat aku. Sebenarnya sih aku belum tahu secara pasti. Tapi dari gelagat bahwa aku tak pernah disuruh-suruh lagi, aku jadi berkesimpulan bahwa yang dimaksud beliau kurang lebih demikian. Aku benar-benar di PeHaKa.
2. kadar paragrap
Membikin paragrap sebaiknya tidak terlalu panjang. Karena hal itu bisa membuat pembaca bosan. Sebenarnya tidak ada aturan seberapa panjang sebuah paragrap mau dituliskan. Tetapi sebaiknya, jangan lebih dari sepuluh baris. Karena di atas jumlah itu, tulisan akan terkesan kurang nyaman dan membikin pembaca kelelahan.

3. efektif dalam menggunakan kata
Gunakanlah kata dengan seefektif mungkin. Jika nggak perlu, nggak perlu nggak usah ditampilkan. Jangan sering mengulang kata-kata yang sama dalam satu pragrap. Karena itu bikin risih dan monoton. Misalnya:
Lelaki itu datang ke rumah bercat hijau itu. Kemudian lelaki itu pergi lagi beberapa saat kemudian. Di ujung jalan, ia bertemu dengan penunggang kuda itu. Dan buru-buru ia melengos, mencari pemandangan lain agar matanya tidak bertemu dengan mata penunggang kuda itu. Melihat hal itu, penunggang kuda itu pun tampak sangat marah. Ia tahu, semua itu terjadi karena permasalahan yang itu-itu juga. Penunggang kuda itu pun memaki, “Hai! Keparat!”
Lelaki itu segera lari mendengar teriakan itu. Terbirit-birit meninggalkan penunggang kuda itu.
Aku kira udah cukup. Kalau semua dibeberkan di sini, tidak butuh sepuluh lembar untuk menuliskannya. Yang diperlukan kalian adalah jam terbang dalam membaca dan menulis. Jika jam terbang kalian tinggi, bahasa tulis kalian pasti akan lebih baik. Nah, selamat berjuang!

No comments: