MENULIS ITU GAMPANG!


MENULIS ITU GAMPANG!

BAGAIMANA DENGAN "MENJADI PENULIS"?[1]


Oleh Mahbub Jamaluddin

1. Pengantar

Ada fenomena yang asyik dari dunia kepenulisan di tanah air. Bagaimana nggak asyik, jika tiba-tiba saja muncul banyak sekali buku dalam setiap bulannya, dengan variasi judul dan bermacam-macam tema? Begitu juga di surat kabar, banyak sekali nama-nama baru yang muncul mengemuka sebagai seorang pengarang baru. Para artis dan selebritis berlomba-lomba menerbitkan novel. Para pejabat meluncurkan biografi. Tak ketinggalan, para 'penjahat' pun ikut-ikut melauncing 'buku putih' mereka. Fenomena ini, mungkin merupakan salah satu pertanda bahwa gairah kepenulisan, sedang menanjak di tanah air kita ini.

Lalu bagaimana dengan santri? Apakah masih akan tetap adem-ayem di antara kamar-kamar dan tembok-tembok pesantren? Apakah tetap setia dengan hanya bertahan dalam "benteng moral terakhir" negara ini? Padahal di luar gerbang pesantren, trend dan kebudayaan global bergasingan. Berputar-putar menerpa apa saja: mulai dari gaya hidup hingga keyakinan?

Saya seorang penggemar sepakbola. Di sini, saya ingin bercerita tentang sebuah pertandingan yang fenomenal dan sampai saat ini masih terngiang terus. Padahal pertandingan itu terjadi beberapa tahun yang lalu (Kayaknya, Liga Champion 2001). Pertandingan itu adalah antara Manscheter United (MU) dan Bayern Munchen.

Waktu itu MU sudah ketinggalan 2-0. Hingga pertengahan babak kedua, tidak ada satu goal pun yang tercipta untuk MU, meski telah melakukan serangan yang bertubi-tubi (dan hampir membabi-buta). Pertahanan Bayern Munchen teramat kokoh untuk ditembus. Pelatih Bayern Munchen menginstruksikan para pemainnya untuk bertahan total. Maklum, sudah unggul dua-kosong!

Saya melihat Beckam, Garry Neville, dan Roy Keane hampir putus asa. Namun pada detik-detik terakhir babak kedua, kegigihan mereka bisa menyarangkan satu goal. Lalu satu goal lagi. Dan pada injuri time, satu goal lagi. Kedudukan menjadi 3-2 untuk MU. Dalam tiga menit, tercipta tiga goal. Sebuah rekor dalam sejarah sepakbola internasional.

Mengapa bisa Bayern Munchen justru berbalik kalah?

Para pengamat sepakbola mengatakan karena mereka bertahan. Masih kata mereka, sekuat apapun pertahanan, kalau digempur terus-menerus, tinggal menunggu waktu saja untuk kebobolan. Tinggal menunggu momentum untuk roboh dan hancur.

Kisah ini, mengingatkan saya kepada fenomena pesantren yang sering digembor-gemborkan para kyai sebagai "benteng pertahanan terakhir akhlak bangsa". Saya jadi berpikir, kalau Bayern Munchen yang sudah unggul saja bisa berbalik kalah karena serangan bertubi-tubi tersebut, bagaimana dengan pesantren, yang dalam beberapa hal sudah jauh tertinggal? Apakah hanya akan bertahan saja, dihempas globalisasi, diterpa westernisasi-budaya yang hingar-bingar di luar pesantren?

Jawabannya, tentu tidak. Mengapa?

Karena anda berani membaca makalah ini. Karena anda hadir dalam majlis yang—Insya Allah—mubarok ini!

Kembali ke awal tulisan ini, bahwa fenomena kepenulisan sedang bangkit di negeri ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa tulisan-tulisan tersebut, tentu saja membawa serta unsur-unsur budaya dari si penulis. Mereka yang telah terpengaruhi oleh baratisasi, tentu saja akan menelorkan tulisan-tulisan yang tidak jauh-jauh dari budaya tersebut. Maka jangan heran jika opini masyarakat berubah menjadi baratisme. Dulu pacaran adalah tabu, tapi sekarang masyarakat menganggap lucu seseorang yang tidak memiliki pacar. Dulu orang tua ketar-ketir jika anak gadisnya dibawa seorang lelaki, sekarang orang tua menjadi bangga: 'Ahay, anak gadisku telah laku!'

Di sinilah peran santri, untuk meluruskan kembali sejarah. Meluruskan peradaban yang salah jalan. Melalui kerja-kerja kecil yang berkesinambungan: melalui usaha-usaha yang meski lambat namun pasti.

Mengapa saya optimis?

Karena santri memiliki syarat-syarat untuk menjadi kader peradaban. Mereka memiliki moral tinggi. Mereka memiliki keotentikan peradaban yang cukup jauh dari sentuhan propaganda baratisasi. Mereka memiliki keunikan dan pemikiran yang kadang nakal, tetapi kreatif. Mereka memiliki kultural yang khas dan eksotis. Dan di atas semua itu, para santri memiliki segudang ilmu yang—bukan sekedar ilmu-wacana—tetapi lebih pada ilmu-laku. Ilmu empiris-aplikatif.

Potensi-potensi santri tersebut akan sangat mengagumkan jika digali dan dikembangkan. Karena keunggulan tersebut sangatlah jauh jika dibanding dengan kekurangan yang dimiliki santri. Apa itu kekurangan santri?

Saya melihat, hanya satu yang menjadi kendala utama: minder. Tidak percaya diri.

Oleh karena itu, sudah menjadi tugas kita bersama untuk menggusur rasa minder itu dari jiwa santri. Sudah saatnya santri tidak malu lagi memakai sarung dan peci. Sudah waktunya santri bangkit: dengan percaya diri memberi warna terhadap masyarakatnya. Terhadap bangsanya.

Salah satu caranya adalah dengan mencetak kader-kader penulis dari pesantren.

2. Mental Seorang Penulis

Adalah mudah untuk menuliskan sebuah karya. Kita tinggal memetik sebuah ide dari berjubel-jubel gagasan di kepala, lalu duduk, mengambil pena dan kertas. Kemudian menggerakkan tangan dan pikiran. Maka jadilah sebuah tulisan. Sehingga banyaklah para pengarang yang mengatakan bahwa menulis itu memang mudah. Bahkan Arsewendo Atmowiloto menyusun sebuah buku panduan menulis dengan judul "Mengarang Itu Gampang".

Ya. Menulis memang mudah. Namun untuk menjadi seorang penulis, perlu beberapa pra-syarat yang harus dipenuhi.

1. Kerja Keras dan Pantang Menyerah

Saya terkagum-kagum ketika mendengar berita di radio—saya tak punya televisi—bahwa dari berapa kursi lowongan Pegawai Negeri Sipil, yang mendaftar ternyata sekian juta orang. Mereka, para pelamar itu, yang rata-rata sarjana, rela antri berjam-jam di masing-masing kabupaten hanya untuk mengisi formulir dan memperebutkan segelintir kursi Pegawai Negeri. Saya jadi heran. Mengapa mereka begitu berminat? Bukankah gaji PNS kecil? Dan bukankah—meskipun kadang dinaikkan—gajinya selalu saja pas-pasan dengan kebutuhan rumah tangga?

Ada yang mengatakan bahwa jadi PNS itu enak. Kerja ringan, gaji pasti. Ongkang-ongkang pun masih bayaran. Setelah pensiun, masih dapat pensiunan, lagi!

Di lain hari, saya bertemu seorang pekerja kasar di tepi jalan. Pekerja itu sedang membikin selokan. Ia duduk istirahat, dan saya yang kebetulan mengenalnya, diajaknya berbincang-bincang. Ia bercerita perjalanan hidupnya. Suka-dukanya hidup di perantauan. Nostalgia kampung halaman. Dan sebagainya. Perbincangan kami mencapai klimaks ketika tiba-tiba ia menghentikan percakapan, dan dengan wajah yang terburu-buru, mengambil cangkulnya, lalu bekerja kembali dengan semangatnya. Saya sempat kecewa karena ditinggal begitu saja. Tapi, selidik punya selidik, ternyata teman saya itu melihat sang mandor datang dari kejauhan.

Nah. Untuk menjadi penulis, anda harus menata mental. Membuang jauh-jauh mentalitas pegawai dan buruh. Seorang penulis tidak pernah bersandar pada pihak lain. Pada majikan, mandor, negara. Tidak. Seorang penulis harus jadi pekerja, mandor dan sekaligus majikan bagi dirinya sendiri. Karena ia harus terus berproses—menulis dan terus menulis—meski tidak ada yang mengawasi. Meski tulisannya belum diakui.

Jika anda berketetapan untuk menjadi penulis, anda harus bekerja keras. Pantang mundur. Berkarya dan terus berkarya meski aral melintang di depan mata. Tanpa itu, anda hanya akan tenggelam dalam angan-angan saja. Tenggelam dalam mimpi. Karena seorang penulis dihargai dari hasil karya-nya. Dari tulisan-tulisannya.

"Seorang dokter boleh bekerja di rumah sakit atau membuka praktek sendiri, apabila ia punya ijazah di kantongnya. Tidak demikian dengan pengarang. Tidak ada universitas yang dapat memberikan ijazah pengarang kepadanya."[2] Kecuali satu universitas saja: universitas kerja keras dan pantang menyerah.

2. Disiplin

Yang dimaksud disiplin di sini adalah disiplin dalam segala bidang. Seorang penulis harus mau belajar dan terus belajar. Banyak membaca, baik buku maupun tanda-tanda. Belajar dari mana saja. Karakter orang ia pelajari. Lukisan alam, ia perhatikan. Pergaulan masyarakat, sifat-sifat manusia, gaya bicara, gerakan tubuh, tingkah-laku hewan, bentuk dan gestur tumbuhan. Semuanya. Segalanya.

Ia harus menimba ilmu dari mana saja. Dari siapa saja. Ia harus membuka lebar-lebar semua panca inderanya.

Ia harus berpikir kreatif. Menjadi anak kecil kembali, yang selalu bertanya-tanya dengan herannya hal-hal yang sudah dianggap lumrah: mengapa ini demikian? Apakah tidak seyogyanya jika demikian? Mengapa daun ini berwarna hijau, dan yang itu berwarna kuning? Bagaimana bisa sebuah lampu menyala hanya karena disambung dengan sebuah kabel? Apakah dalam kabel tersebut terdapat api yang menjalar menuju lampu? Atau dalam kabel itu ada minyak tanah, sehingga kita tinggal menyulutnya? Mengapa ada istilah daun pintu, sementara tidak ada batang-pintu dan buah-pintu?

Pendeknya, seorang penulis harus tak bosan-bosan menangkap data. Mereguk pengalaman. Mengamati fenomena. Lalu diolahnya dalam alam pikirnya. Ditadaburrinya dengan akal-budhi-nya. Dan setelah itu (atau bersamaan dengan itu), tak bosan-bosan menuliskannya. Mengoreksi tulisannya. Merevisi. Meminta pendapat orang lain. Merevisi lagi. Menuliskannya lagi.

Setelah selesai itu semua, ia masih harus menulis tema lain, membaca karya-karya orang lain, menulis lagi, membaca lagi, mengambil ilmu dari percakapan, mencatat ide-ide yang melintas…. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Begitu terus tak bosan-bosannya.

Tentu saja prasyarat itu hanya untuk anda yang benar-benar ingin menjadi penulis. Yang memiliki tekad kuat dan motivasi kokoh untuk berproses menjadi penulis yang benar-benar. Bagi yang hanya ikut-ikutan? Tempat anda bukan di sini. Karena dunia penulis adalah sebuah dunia di mana seseorang diakui hanya dari karyanya, hasil kerjanya. Digaji dan dihormati dari cucuran keringatnya. Bukan karena ia terdaftar sebagai pegawai di institusi anu. Bukan karena ia membenalu dalam perusahaan inu. Bukan karena ia mampu menyenangkan atasan ini dan mandor itu.

Bagaimana, anda takut?

Beberapa bulan yang lalu saya telah mengompori anda. Saya telah bercerita panjang lebar keunggulan-keunggulan menjadi penulis. Kepuasan tatkala menyelesaikan sebuah karya. Kedamaian jiwa, dan 'sedikit' iming-iming materi.

Sekarang, saya ingin katakan, bahwa semua itu tidak dicapai hanya dengan ongkang-ongkang. Tidak dengan D3: datang-duduk-duit. Sekali-sekali tidak. Segala kebesaran dan kesuksesan tidak ditempuh dengan berleha-leha. Bukan hanya penulis. Pengusaha, bisnisman, petani, pedagang, jika ingin sukses, juga membutuhkan usaha keras. Harus dibayar dengan keringat dan cucuran air-mata.

Sekarang. Saat ini. Tanyakan kembali kepada diri anda sendiri. Apakah anda sanggup? Jika anda yakin akan menjadi orang besar, anda akan mengangguk. Tapi jika anda bermental kuli, jika Anda ingin hidup Anda biasa-biasa saja: asal hidup sambil menunggu mati, silahkan mundur dengan teratur.

Nah, bagaimana? Lanjut?

Semoga sedikit coretan ini berguna dan bermanfaat. Fiddunya wal akhirat. Amiin!

Yogyakarta, Akhir Nopember 2006

Malam yang panas

Seonggok bintang berkelip sendirian


[1] Dengan sedikit perubahan, makalah ini pernah disampaikan dalam workshop kepenulisan di PP Roudhotul Ulum, Ganjaran, Gondanglegi, Malang, Jawa Timur

[2] Aoh K. Hadimadja, Seni Mengarang, Pustaka Jaya, Jakarta, 1972.

No comments: