Apakah bertasawuf harus meninggalkan kemewahan?
Tidak, sama sekali tidak ada hubungannya antara tasawuf (zuhud) dengan miskin. Orang yang miskin bisa jadi tidak zuhud, sebaliknya orang yang kaya belum tentu zuhud. Dan sebaliknya.
Zuhud itu kan nggak suka dunia. Nggak suka dunia bukan berarti harus nggak punya dunia. Contoh sederhana, seorang pecinta barang antik, belum tentu memiliki barang antik itu, misalnya karena ia nggak punya duit untuk membelinya. Sedangkan orang yang punya barang antik, belum tentu menyukainya: ia menganggapnya biasa sebagaimana barang-barang yang lain.
Justru, ketika seorang hidup miskin dan belum pernah kaya, mungkin ia menjadi sangat pengin kaya. Inilah yang dimaksud dengan gila dunia. Sedangkan orang yang (pernah) kaya (dan juga pernah miskin di sisi lain), mungkin menjadi merasa biasa dengan kaya dan miskin. Artinya, ia ikhlas mau menjadi kaya atau miskin. Artinya lagi, ia tidak peduli apakah ia punya harta dunia atau tidak; yang ia pedulikan hanyalah penghambaan kepada tuhan. orang yang seperti inilah yang disebut zuhud.
Mungkin saja orang yang zuhud hidup mewah; tapi ia tidak bermewah-mewah. Ia "nyah-nyoh" dengan hartanya. Jika ia punya sepuluh juta, ia merasa sama dengan memiliki uang seratus rupiah atau bahkan sama dengan tidak memiliki uang sama sekali. Punya harta atau tidak, ia tetap beribadah.
sebaliknya, banyak orang yang hidupnya miskin, tetapi matanya hijau. setiap melihat uang, melihat kemewahan, mulutnya mengeluarkan air liur. Inilah yang disebut "kadonyan". Demikian pula, seorang kaya yang masih "ngiler" dengan harta dunia, tentu juga tidak bisa disebut zuhud.
Pernah ada cerita sufi, begini:
Seorang santri, sebut saja namanya Zaid, hendak pulang kampung. Ia ijin sama kiainya. Kata kiai, "Jangan pulang dulu."
"Tapi kiai, saya diminta pulang oleh ibu." kata Zaid.
karena mendesak terus, kiainya pun mengijinkannya pulang. Tapi dengan syarat, ia harus ngaji dulu di pesantren Syaikh Jabir.
"Syaikh Jabir ini orangnya sangat zuhud dan juga alim. Kau boleh pulang kalo kau sudah ngaji di sana barang satu-dua hari."
Akhirnya, berangkatlah Zaid ke pondok Syaikh Jabir. Sepanjang jalan, ia bertanya-tanya, seperti apa sih rupa Syaikh Jabir yang kata kiainya begitu zuhud? Ia membayangkan, pondok Syaikh Jabir terbuat dari kayu yang keropos hampir roboh. atapnya dari rumbia. pakaian yang dikenakannya bolong-bolong.... dst.
Namun alangkah terkejutnya ketika zaid melihat pondok dan rumah SYaikh Jabir yang magrong-magrong kayak istana! Ketika kemudian ia mendekat, Mercedes Benz nongkrong di garasi. Ketika ia masuk, marmer dan pualam menyambut. Ketika Syaikh Jabir datang, pakaian dan sisirannya rapi dan kinclong.
Zaid langsung protes, "Kiai! Katanya kamu zuhud! kok seperti ini?"
Syaikh Jabir nggak menjawab. Ia masuk, mengambil mangkok, lalu menyerahkannya kepada Zaid.
"Bawa! dan jangan sampai airnya tumpah." kata Syaikh.
"Sobron!" teriak Syaikh memanggil body-guardnya yang serem. "Tempiling dia kalo sampai airnya tumpah!"
Lalu, SYaikh membawa Zaid naik andong. putar-putar desa (dengan jalanan yang tidak rata. Maka, Zaid pun harus bersusah payah menjaga air dalam mangkok itu... Ia nggak mau dipukul Sobron yang kekar dan galak tampangnya itu.
Hampir seharian mereka berkeliling kampung. Kemudian, legalah Zaid ketika Syaikh Jabir menghentikan andongnya.
Sudah sampai!
"Nak, kamu lihat apa tadi di jalan? Melihatkah engkau para penduduk yang sedang menanam padi di sawah-sawah? Melihatkah engkau gadis-gadis desa yang setengah telanjang mencuci pakaian? Melihatkah engkau burung-burugn di tepi hutan Gungliwang-liwung yang..."
"LIhat apa? Kiai ini bagaimana sih, saya kan harus njaga air ini agar tidak tumpah? bagaimana mungkin saya melihat-lihat jika mata saya harus terpaku pada air dalam mangkuk ini!?"
"Demikianlah, Nak. Kau boleh saja memiliki gedung seperti istana. Kau boleh saja beristri cantik jelita. Kau boleh saja memiliki mobil dan uang tujuh puluh gudang. Kau dapat saja menyaingi Qarun dalam kekayaan. Tapi kau tidak akan melihatnya jika mata hatimu terpaku menjaga air-tauhid, air ikhlas, dan air-penghambaan dalam mangkuk dan cawan hatimu... Kau tidak akan menganggapnya, sebagaimana tadi engkau tidak melihat gadis-gadis desa. Engkau tidak akan memikirkannya sebagaimana engkau tidak memikirkan para petani menanam padi... Namun, itu semua jika engkau terus berkonsentrasi pada air-hayat dalam jiwamu...!"
"Dan, sebagaimana engkau takut dipukul body-guardku, aku pun takut diazab Body-Guard yang maha mem-body-guard manusia!"
So, Zuhud boleh kaya, kan? Yang penting bukan apa yang ada di sekeliling kita; bukan "dunia" yang kita miliki. Namun, bagaimana cara pandang kita kepada dunia itu sendiri.
No comments:
Post a Comment