(Catatan Tiga Hari di Madura)
Kami bergelantungan pada kelelahan. Bergayut-gayut diombangambingkan gelombang. Fery ini memang kecil. Dan kami merasa semakin kecil. Terkilas di pikir, perjalanan yang panjang antara Jogja-Surabaya. Antara kota "Dab" dan kota "Cak". Lelah, pun menggerogot. Menusuk-nusuk seluruh punggung kami.
"Berapa?" tanyaku sesudah menerima cangkir plastik dari si tukang kopi.
"Kopi Mix, tiga ribu."
kurogoh saku. lalu kuucap tengkyu.
Kembali ke anjungan, angin laut menerpa keheningan. Kerlap-kerlip Tanjung Perak sudah semakin kecil, dan Kamal yang remang-remang, samar-samar terlihat di hadapan.
Isma, Izza, dan Fina sedang berbincang. Ah, aku ingin sendiri. Menikmati kopi ini. Menikmati lengketnya udara. Meresapi kesyahduan goyangan selat ini. Tapi, kakiku tak bisa berkompromi dengan hati. Ia melangkah saja, mendekati mereka bertiga dan menyejajari Isma.
"Mahal sekali."
"Berapa?"
"Tiga ribu."
"Ya, kan di kapal. Itu murah!"
aku sedikit tertawa.
Di belakangku, seorang pria dijeriti ibu-ibu--nenek-nenek tepatnya. Mereka melihat si pria membuka seenaknya pintu toilet. Untung mereka--nenek-nenek yang sedang berkerumun itu--cepat menjerit, sehingga si pria mengurungkan niatnya sebelum pintu itu sepenuhnya terbuka.
Aku hanya mengira-ngira apa yang dikatakan para nenek itu, sebab mereka menggunakan bahasa Madura. Ah, kembali aku terlempar pada palung ketidaktahuanku!
Fery semakin merapat. Aku melihat sebuah gerbang imajiner di beranda Kamal: "Selamat Datang di Tanah Para Penyair..." (bersambung)
No comments:
Post a Comment