LEMBAH PARA MALAIKAT (2)

(Catatan Tiga Hari di Madura)


Kamal seperti tanpa angin.
Ketika kecipak gelombang menggelayut di bibir pantai. Ketika Ferry kemudian merapat. Membuka gerbangnya. Perlahan. Perlahan.
Kami semua masuk ke kijang. Mas Hartono, sang sopir yang selalu renyah. Mas Joko, alumnus LSM Kakak Solo. Dan kami berempat. Mesin kendaraan mulai dimain-mainkan. Riting-riting berkedap-kedip. Dan orang-orang berebut melewati jembatan yang hanya cukup untuk satu mobil saja.

Tanah Madura... aku datang...

Perjalanan yang melelahkan itu menjadi cair ketika kami bertemu dengan Mas AMir, alumni IAIN (bukan UIN) Sunan Kalijaga.
"SIk! Koncoku lagi shalat!"
Kami mengangguk, setelah menerima tangannya yang dijulurkan, bersalaman.
"Rung do mangan, ya?"
Lagi-lagi, kami mengangguk.
"Mau makan di sini atau di tempat yang lebih bersih?"
"Di tempat yang lebih bersih, tentunya." dan sesungging senyumanku menggeliat di sela kerapuhan tubuhku. Lelah. ngantuk. Dan (agak) kebelet kencing. (Ayo... yang lagi shalat, cepetannn!!!)
Mas Hartono ngobrol sama sopir-nya mas Amir. Entah siapa namanya. Lalu kami melaju. Bersama. Mampir sebentar di warung nasi tepi jalan, ngobrol berakrab ria dengan Mas Amir dan Pak Nanang--keduanya dari sampoerna fondation, foto di depan becak yang lucu (karena moncongnya lancip--tidak seperti becak-becak di Jogja), sedikit menikmati kegelapan karena lampu yang tiba-tiba padam, dan kemudian melanjutkan perjalanan (tentu setelah ngantri di toilet)...

Aku berusaha tidur. Tapi jalanan madura yang bergelombang, ditambah cuaca yang mengirimkan halilintar, plus kegelapan yang seram mengingat kami menyusuri tepian laut, membuat kantuk tercerabut. Ia lari, entah ke mana. Kucari-cari di sekeliling, ia bersembunyi. Dan aku semakin tersiksa! Aku ngantuk, tapi tak dapat tidur...

Oh, dimana engkau, kantuk? dimana engkau? FIna dah bobo. Isma "nglekar" di jok. Izza terangguk-angguk tidur ayam...
Di mana engkau, kantuk? Oh, engkau lari dan sembunyi begitu tak peduli. Kau lihatlah tubuhku yang loyo ini!

Jalanan semakin kacau ketika mobil yang mengangkut mas Amir cepat melesat. Mas Hartono, Sopir kami yang belum pernah ke madura, akhirnya hanya "Kepontal-pontal"... Dan tiba-tiba, ketika aku telah lupa, ada sesuatu yang mengendap-endap datang. Mengendap-endap, bukan berarti ia lambat. Ia cepat, lebih cepat dari laju mobil kami yang hampir 100 km/jam!
Ya, ia mengendap, lalu menyergap. Aku tak sadar. Hingga tiba-tiba (ya, seakan cepat sekali), saat aku membuka mata, mobil sudah berkelok, lalu menanjak menyusuri bukit guluk-guluk...

Ohoy, apa kabar guluk-guluk! apa kabar siapa--aku lupa namanya--yang menulis "Siti Nurbuaya"! Apa kabar GUguk Mancanegara--hey, dimana engkau kini! Apa kabar Lora Faizi--sang penyair yang (istilah Kang Murtadho Hadi Edi Noor)benar-benar bersosok penyair: mata yang selalu mengantuk dan merah--seakan tidak tidur sejak dilahirkan, seakan setiap malam bermunajat dan berpuisi!
Ohoy, kantukku hilang dengan sempurna... kerinduanku membuncah, pada para lora dan bindareee (eh, tulisannya bener?)...

"Salamun, salamun!" suara itu mengaum, di sela-sela tebing kapur dan pepohonan kebun, dipantul-pantulkan daun-daun tembakau.
Ya, aku ingat. Annuqoyah, pesantren yang telah makan banyak garam dan menelan abad ini pernah memberiku inspirasi tersendiri--yang belum juga kutulis menjadi novel... Semoga, kutemukan kelanjutan ceritaku, di tubuhmu. Juga.

Mobil berhenti ketika tatapanku menangkap bangunan Masjid Agung itu. Ah, sudah selesaikah renovasimu? Setahun lalu, aku sempat melihat perutmu yang berpilar-pilar. Menggemakan khotbah jum'at sang kiai. Adakah kini engkau telah menjadi?
(Bersambung)

No comments: