(Catatan Tiga Hari di Madura)
Perempuan selalu manis. Ya, semua perempuan--meski jelek dan njelehi--senantiasa manis. Mungkin itu nasibku, menjadi laki-laki. Mereka--perempuan-perempuan manis itu: isma, fina, dan izza--karena kemanisannya, begitu tiba langsung dapat kamar. Tentu mereka dah bobo. Sementara kami? Para laki-laki?
Kami menyusuri lorong-lorong pesantren. Merambati remang-remang, yang meski sudah pukul 12, masih saja ramai oleh tongkrongan para santri. Dan setibanya di kamar...
"Terkunci!" pekik mas AMir.
gelagapan, ia memencet tombol-tombol yang harus dihubungi. Pak Nanang, yang mungkin sudah teramat lelah, nglekar saja di depan pintu kamar. "Sudah untung, di bawah atap. Kalau hujan nggak basah..." gumamnya, seraya terpejam, entah kepada siapa. Mungkin kepadaku, yang coba ikut-ikutan sibuk ngebel lora Faizi....
(bersambung... lagi...)
No comments:
Post a Comment