(Catatan Tiga Hari di Madura)
Mungkin hampir setengah jam kami terlunta di emperan ndalem. Aku membayangkan, para perempuan manis itu telah ngorok di kamar, sepertiku juga yang seandainya telah menyentuh bantal, pasti mataku berebut menutup dan ilerku berdesak-desak keluar. hiii. Namun ini tidak. Tidak seperti para perempuan manis itu, kami menunggu. Dan ketika yang ditunggu datang, membawa kunci, membuka pintu, memanggil sebuah nama dengan berbisik, keluarlah--lagi-lagi--para perempuan manis yang jumlahnya hampir 10 anak itu, yang baru bangun tidur itu, sembari menyangking kitab dan selimut dan bantal. dan tentu saja, mata yang mengerjap-ngerjap, dan kecantikan yang tertutupi sendu dan acak-acak rambut...
Kami masuk. Pak Nanang dapat kamar sendiri. Kamar satunya, karena kamarnya hanya dua, aku tempati bersama mas AMir. Tapi alangkah terkejutnya aku, ketika mas AMir menggelar selimut di karpet, lalu ngglebak seraya berkata, "Kamu tidur atas."
"Lho, kok!" jawabku nggak enak. Bagaiamana bisa? Dia kan "ketua panitia" di sini. DIa kan bos! Kok aku disuruh tidur atas? Aku jadi malu sendiri. Meski aku yang diundang--jadi semacam tamu--yang harus dihormati, tidur di atas kasur, di tempat yang lebih tinggi dari tempat tidur mas AMir yang di lantai adalah sebuah penghormatan yang menurutku berlebihan.
Mas amir mulai mengungkapkan alasan-alasannya. Yang panas lah, yang nggak bisa tidur kecuali dengan ngglebak kanan ngglebak kiri lah...
sungguh, tidur di atas itu membuatku tersiksa. Aku, yang seharusnya langsung tidur ketika mendekat kasur, malam itu hanya ketap-ketip saja. Pukul 2 atau pukul setengah 2 dini hari, barulah aku dapat konsentrasi untuk tidur. Itu pun setelah lampu kumatikan...
***
Pagi datang. Setengah enam. Shubuh sudah hampir menguap disembur-sembur kerlip matahari di ufuk timur. Aku shalat. Lalu tidur lagi.
Ketika bangun, suara orang ngobrol lagi hangat-hangatnya. tampaknya pak Kiai. Aku cuek aja, jalan ke kulah melewati mereka, lalu mandi. Yah, sebenarnya mau salaman. tapi nggak enak juga. aku masih rebesan. masih bau kasur. masih acak-acakan...
Setelah mandi, langsung disuruh makan. Aku nggak bisa salaman deh. habis, Kiai ngobrol tanpa henti dengan mas AMir dan Pak Nanang. Dan tampaknya, mereka tidak terlalu gembira jika suasana itu dipecahkan oleh bungkukanku, juluran tanganku, dan kecup bibirku di punggung tangan kiai. ya sudah. makanlah aku tanpa terlalu hirau mereka...
***
Acara workshop karya ilmiah populer dimulai sekitar pukul 09.00 waktu Madura. Ah, tepatnya bukan workshop KIP, namun workshop kepenulisan. Meski menyinggung-nyinggung karya ilmiah populer, tapi tampaknya peserta lebih tertarik pada praktek kepenulisannya secara umum, khususnya tentang fiksi. Ya, mereka lebih tertarik kepada cerpen dan novel daripada karya-karya ilmiah dan artikel. Aku tahu itu, dan aku merasakannya...
Sebuah akhir yang terpaksa
Dua hari kami bergelut dalam forum. Canda dan ria yang dibubuhi materi mungkin membuat kantuk mereka sedikit lenyap...
Pulangnya, kami mampir di rumah ABrori untuk makan cumi. Abrori yang manis--seperti klaimnya sendiri--kalau aku boleh menambahkan, juga lucu. Dan perjalanan pulang serasa begitu cepat. Menyisakan rindu yang menggelinjang di memori. di hati.
Madura, kapan lagi kita bersua?
No comments:
Post a Comment