
"Aku ngaceng!" lirihnya, sesekali melirik kepada istrinya yang sedang nyapu. memastikan perempuan ndeso itu tidak mendengar. "Tapi, aku sadar, Kang. Ini donya! Donya sing ora ono guna. Bayangkan, Kang. Cewek kayak Shakeera itu dipuja-puja. Padahal ora beda sama wong edan wuda!"
"Kang, aku sadar, ini bukan budaya kita. Tapi aku juga suka. Aku mengutuk, tapi aku diam-diam liurku terteguk.."
DulBakir ngedumel. Ia cerita bahwa semalam, ia nonton shakeera di tivi. Celananya panjang. Wudelnya ketok. Atas cuma pake beha. Dan goyangannya, wadhuh, bikin pusing kepala.
Aku hanya diam, membayangkan Shakeera dengan goyangannya tadi malam. Suer, aku tak munafik. Aku juga nonton. Semalam memang aku nggak bisa tidur. Dan iseng-iseng, pengin liat berita bola. Tapi pas ngeklik remot, ternyata yang muncul Shakeraa yang lagi wuda. Tak jadilah aku liat bola. Dan, aku juga merasakan hal yang sama dengan Dulbakir. Aku juga mengutuk, terutama mengutuk diriku sendiri yang masih belum mampu menahan diri. Diam-diam, aku membayangkan, jangan-jangan, mereka yang suka mengamuk--menghancurkan tempat-tempat maksiat dipicu oleh perasaan muak tapi nikmat seperti yang kualami malam tadi. Jadi, sebenarnya mereka mengamuk karena mereka nggak kuat menahan diri untuk tidak melihat. Mereka memaki-maki diri mereka, mengapa mereka masih saja kalah oleh maksiat, lalu mereka melemparkan kesalahan itu pada kemaksiatan itu sendiri. Mereka masih ngiler melihat cewek berbaju pecotot-pecotot, dan mereka menganggap yang pake baju pecotot-pecotot itu adalah iblis yang harus diamuk.
Aku jadi teringat cerita seorang pelancong dan keledainya. Sebut saja, nama pelancong itu Bardabal. Bardabal ini harus mengarungi sebuah sahara maha luas untuk berbisnis. Malang, ia harus sendirian. Di tengah jalan, di tengah kesendirian, tiba-tiba syahwatnya memuncak. Ingin sekali ia kitul, senggama. Namun, tak ada saluran. Gimana? akhirnya, ia mendatangi keledai yang betina itu, dan disetubuhinya. Pas selesai, pas adzan isya. Bardabal pun mandi, lalu shalat, dan pas wiridan ia mengikrarkan taubatan nashuha. Ia merasa sangat bersalah. Ia merasa telah begitu kotor sehingga melakukan maksiat yang sugguh jorok dan menjijikkan.
"Oh, tuhan... maafkan aku, tuhan..." Bardabal menangis. Mengguguk-guguk. Menderu-deru. "Maafkan aku. Sungguh, aku tak sadar waktu itu. Aku, akh, ini semua karena godaan syetan yang terkutuk!"
Konon, tidak jauh dari Bardabal, ada sesosok syetan sedang duduk. Mendengar itu, syetan segera menyeru: "Enak saja kamu nyalahin aku! Kamu yang enak, melampiaskan syahwat, eh, malah aku yang kamu salahkan! Jangkrik kamu!"
***
Dulbakir menyeruput kopinya. "Kang, kamu percaya nggak kalau aku ini pernah nyolong?"
Kata itu, kukira main-main. Tapi, ketika mataku menangkap matanya yang melolo, yang begitu tajam seolah mau keluar, aku terhentak. Seriuskah dia? Atau sengaja ia berusaha menerorku dengan mukanya yang seakan demikian serius?
Akhirnya, aku menggeleng. Hanya.
"Kang, orang seperti aku seharusnya sudah nyolong, nyopet, atau ngrampok bank."
"Kok?"
"Tivi,kang. Aku liat tivi, kayaknya dunia begitu indah. Tapi kasunyatane beda adooohh! Djagkrik, kan, Kang? Aku ini makan tiga kali saja udah untung. Lha itu, di tivi pada enak-enakan makan yang lezat-lezat. Jangkrik, jadi aku yang sabar jadi nggak sabar karena anak-anakku pada njaluk ini njaluk itu. Sing makanan akeh banget macamnya lagi...!"
DUlbakir nyeruput kopi lagi. Lalu lintingan tembakaunya yang tadi sudah mulai padam disulut lagi. Mengepullah. Menguarlah bau tembakau murahan lama yang ampek, matuki, dan mlekiki.
"Belum lagi apa-apa sudah pada mahal...! Belum lagi besok BBM mau naik. Sementara mata kami terus dililipi oleh iklan, kemewahan, dan mimpi-mimpi di tivi. Keirian kami juga disinggung-singgung oleh acara-acara glamor yang membuat kami melambung sesaat. Membuat kami menjadi makhluk-maklhluk yang hidup di alam mimpi. Kamu percaya kalau aku nyolong, nyopet, atau ngrampok?"
Aku terpana. Sungguh, terasa aku ingin tidak ada di hadapan Dulbakir saja. Terasa sungguh, aku ingin menjadi patung, tak ingin menjawab pertanyaan itu. Matanya. Ah, matanya begitu menghujam. Ke dalam kedalaman jiwa. Aku. Aku tak kuasa.
Akhirnya, lagi-lagi aku menggeleng.
"Kang, kamu tahu si Minah? dia sudah kapusan lima kali. Ditipu orang kota. Dulu ia ikut semacam MLM yang urunan masuknya 6 juta, dengan imbalan dapat gaji 500 dollar per minggu. Syaratnya, ia ngajak orang dua. dan dua orang yang ia ajak harus ngajak orang dua lagi. dst.
"Awalnya semangat. Tapi kemudian, susahnya mencari orang yang mau ikut. apalagi dengan modal 6 juta. Dan melayanglah kini uang 6 jutanya itu. Padahal, dari mana dia dapat 6 juta? Adol sawah, Kang..!"
"Kemudian dia dan keluarganya bingung. Nyari kerja susah. Kalau pun ada, nggak nutupi untuk makan. Maka ia pun berspekulasi. Ikutan lagi bujukan orang, yang katanya dapat wasiat dari anaknya Bung Karno. Kata orang itu, anaknya bung karno yang bernama Agus Muhammad mau mencairkan uang Bung Karno di bank swiss, dan uangnya itu akan dibagi-bagikan kepada seluruh orang melarat di bumi persada. Dan, orang melarat yang mau bagian hasil warisan bung karno itu harus ndaftar; satu juga."
"Kang, bayangkan, kang! Kamu percaya kalau pada suatu saat aku nyolong, ngrampok, atau nggarong?"
dan aku semakin menunduk. Ingin kujawab, bahwa aku tak akan percaya. Dulbakir orang baik. Ia memang miskin dan susah. Tapi aku yakin, ia masih punya iman untuk tidak melakukan hal-hal tercela itu. Namun, bukankah perut dapat menggerakkan apa saja? Mulai dari membuang nyawa hingga menumbangkan penguasa?
"Kamu takkan percaya, Kang. aku juga. Aku juga nggak percaya. dan aku terus berdoa, semoga aku tidak melakukannya... Tapi..."
"Tapi apa, Kang Dul?"
"Aku nggak bisa menjamin orang lain, jangankan tetanggaku. Anak istriku pun, aku tak kuasa untuk mengawasi mereka setiap waktu. Mereka telah diguyur dunia modern, sementara perut lapar dan gengsi berkobar-kobar. Mau apa lagi? Jikapun mereka nggak berani nyolong ataupun nggarong, mungkin bunuh diri menjadi solusi...? akh, semoga tidak"
aku tercenung. Kutatap halaman rumah kos-kosan Kang Dul. Istrinya masih menyapu. Hampir selesai karena sedang mengumpulkan sampah-sampah itu dalam satu tempat. Lalu istri Dulbakir membakarnya. Sepertinya, tubuhku ikut terbakar bersama sampah-sampah itu. Yah, aku tak berdaya menghadapi suasana ini. Aku tak bisa menolong sahabat-sahabatku ini. Aku tak bisa mengentaskan mereka dari jurang terdalam yang nyinyir. Aku hanya bisa menemani mereka ngopi dan berkeluh. Dan aku, akh!
No comments:
Post a Comment