TERIMAKASIH BELANDA!

KOTO GADANG:
Desa Yang Melahirkan Tokoh-Tokoh Besar

Siapa bilang penjajahan Belanda semata-mata merugikan bangsa Indonesia? Hingga sempat terdengar adagium yang seolah-olah “menyalahkan takdir” di kalangan bangsa ini: “Bangsa-bangsa yang dijajah Inggris, pasti maju, sedangkan bangsa yang dijajah Belanda, pasti mewariskan kebobrokan.”?

Kenyataan di lapangan, tampaknya memang demikian adanya. Namun, ternyata adagium “kullu syain mustatsnayatun” juga berbicara. Adalah Koto Gadang, sebuah nagari di Kabupaten Agam, Sumatera Barat yang berhasil membuktikan itu. Koto Gadang adalah satu-satunya nagari (daerah setingkat desa) yang dengan sangat lihai berhasil memanfaatkan kedatangan Belanda. Jika daerah-daerah lain melawan penjajahan Belanda dengan menentangnya habis-habisan, orang-orang Koto Gadang justru melawan Belanda dengan tehnik taichi: memanfaatkan tenaga dan pengetahuan lawan untuk menjatuhkan mereka. Ya, pada saat daerah-daerah lain tidak kenal kompromi dengan penjajah, nenek-moyang orang Koto Gadang justru menawarkan kerja sama. Mereka mendirikan sekolah sekolah berbahasa Belanda, memasuki instansi-instansi Belanda, dan pada akhirnya mengadopsi cemerlangnya pengetahuan Barat yang dibawa Belanda.

Hasilnya sangat mengejutkan! Ketika daerah-daerah lain masih terjebak dalam kegelapan, orang-orang Koto Gadang sudah melek pengetahuan. Tak ayal, lahirlah tokoh-tokoh yang moncer di tingkat nasional dan internasional dari Koto Gadang. Di antaranya—yang masih dapat saya ingat—adalah Agus Salim, Syahrir, Prof. Dr. Syaaf, dan Emil Salim. Bahkan konon, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi juga berasal dari Koto Gadang ini. Lebih mengejutkan lagi, setiap rumah di Koto Gadang, sekarang pasti memiliki minimal satu orang sarjana. Adakah desa yang seperti itu di Indonesia?

Budaya Koto Gadang juga terkesan progresif. Tidak seperti kantong budaya yang lain—khususnya Jawa—nilai-nilai tradisi di Koto Gadang selalu bergerak dan berkembang, sesuai dengan tuntutan jaman. Selalu ada ‘rapat’ para tetua yang membicarakan masalah adat. Misalnya, tetang kawin campur. Dahulu, orang Koto Gadang harus dapat orang Koto Gadang pula. Kemudian, sesudah terjadi suatu kasus—dimana seorang perempuan asli Koto Gadang menikah diam-diam di perantauan, dilakukanlah rapat darurat yang kemudian menghasilkan kesepakatan baru…

Ada satu hal lain yang mengejutkan sesudah membaca buku Koto Gadang; Masa Kolonial ini. RA Kartini yang selama ini dipuja-puja sebagai perintis emansipasi wanita di tanah air, ternyata kalah start dari kelompok perempuan di Koto Gadang yang dipimpin oleh Rohana Kudus. Jauh sebelum Kartini menuntut sekolah perempuan di Rembang, Rohana Kudus dan teman-temannya telah merintis ‘komunitas’ perempuan Koto Gadang untuk melek huruf!

Masih banyak lagi cerita tentang Koto Gadang. Baca sendiri di buku yang menarik ini; meskipun saya bukan orang Koto Gadang, saya menganjurkan anda membacanya, agar anda dapat ‘sekedar melirik’ progresifitas suatu desa kecil di pelosok nusantara ini.

Buku : KOTO GADANG Masa Kolonial
Penulis : Azizah Etek, Mursjid AM, Arfan B.R.
Terbitan : LKiS (kayaknya November 2007)

No comments: