SALSABILA!

novel pencarian hakekat

Bagian Pertama:
TAREKAT KOPI MUNYENG (1)

Senin, 28 Juli 2008
21:55

Serentak, seluruh ruangan hanya berisi senyap. halaqah orang-orang yang memadati ruangan seukuran lapangan sepakbola itu, yang semula riuh rendah dan bising oleh ocehan masing-masing, mendadak terdiam saat sosok itu datang. Seakan-akan seluruh perhatian dunia tersedot habis ke dalam sosok berpakaian putih-putih itu. Ia masih muda. Atau dapat dikatakan terlalu muda untuk seorang kiai yang berwibawa.

“Inikah orangnya?” bisikku, penasaran.
“Sst! Diam.” Temanku balas membisik.
“Ok, tapi inikah dia, Syaikh Jibroil yang kamu ceritakan?”
“Bukan... ini asistennya.”

Oh! Jadi ini baru asistennya? Jika asistennya saja sudah dapat memengaruhi ratusan orang yang ada dalam ruangan ini, bagaimana halnya dengan Syaikh Jibroil sendiri? Terus terang, cerita-cerita kebesaran tentang Syaikh Jibroil semakin membuatku penasaran—apalagi ketika aku melihat kenyataan ini. Aku ingin sekali bertanya ini itu tentang Syaikh Jibroil kepada Sugi, tapi dengan cekatan, ketika aku baru saja membuka mulutku, ia mengacungkan jemarinya di depan bibirnya. Dan sia-sialah niatku. Sugi mengacungkan jemarinya ke depan, memberiku isyarat agar mendengar petuah sang asisten Syaikh Jibroil.

“Sampurasun salamun ‘alaikum....”

Semua yang ada di ruang itu membalas dengan serempak, dengan nada berat yang mengguncang ruangan itu, memantul-mantul di seluruh sisi temboknya: “Rampes wa’alaikum salamun!”

Kemudian sang asisten mulai menyanyi. Aku nggak tahu, lagu apa yang ia nyanyikan, namun kukira serupa dengan dendangan lagu jawa. Lirik-liriknya tidak kupahami, tetapi aku yakin—dan demikianlah yang kurasa saat itu—bahwa lagu itu memiliki nuansa mistik yang kental. Pada bagian tertentu, para jamaah mengeluarkan ponsel mereka. Lalu dengan gerakan seragam, tangan mereka mematikan ponsel masing-masing. Aku tahu, mungkin ini sudah kesepakatan jamaah. Tapi entahlah, aku tidak demikian peduli. Siapa yang peduli jika pikiranmu telah dipenuhi rasa ingin tahu tentang nama besar Syaikh Jibroil?

Ketika kemudian sang asisten bertepuk dua kali, para jamaah membukakan mulutnya. Lalu secara bersamaan, mengucapkan syahadat rabbi, syahadat nabi, dan yang terakhir, syahadat wali.

“Aku bersaksi allah tuhan kami
Aku bersaksi, muhammad nabi kami
Aku bersaksi, Syaikh Jibroil wali kutub bumi ini..”

Kemudian kemenyan dibakar. Dupa-dupa di setiap pojok ruang, juga dinyalakan. Wangi semerbak memenuhi segenap udara di dalam ruang itu. Juga asap yang mengepul menyesakkan mata.

Sang asisten, perlahan masuk. Beberapa saat kemudian, ia datang kembali, membawa secangkir kopi, sebotol air putih, dan segenggam kembang setaman. Semua itu diletakkanya di tengah jamaah yang melingkar.

Sang asisten duduk bersila di tengah halaqah. Kedua tangannya tepat berada di sudut lutut. Tatapnya ke lantai. Tepat ke arah dupa yang mengepulkan asap di depannya. Seakan-akan, ia hendak memakan seluruh asap itu dengan matanya.


“Assalamu’alaikum...” katanya dengan suara lirih, nyaris tak membuat bibirnya bergerak. Namun, suar alirih itu sudah sangat cukup untuk membuat seluruh ruangan mendengar kata-katanya, “Syaikh jibroil telah mewasiatkan kepada saya... untuk satu minggu ini, saya pimpin jamaah aurad dan hizib ini. Sedang mbah madun yang akan memimpin shalawat...”

Aku memandang Sugi. Ia tak berkedip. Aku memandang wajah para jamaah yang lain. Mereka juga tak berkedip. Seakan, mereka sama sekali tidak terkejut dengan berhalangannya Syaikh Jibroil. Seolah mereka tidak bertanya-tanya, mengapa syaikh tiba-tiba digantikan posisinya. Aku ingin sekali bertanya, tetapi jika melihat wajah-wajah datar itu, aku pesimis. Aku pasti hanya akan mendapati mereka memelototkan mata, mengacungkan jemari di depan bibir mereka seraya mendesis dengan keras. Atau justru aku dapat diusir keluar. Ah, apakah mereka berhati batu? Ataukah mereka semua telah mabuk oleh aroma kemenyan yang bergulung-gulung ini?

Kemudian suara dzikir mulai keluar dari sang asisten. Dan jamaah menirukan. “Laaa ilaaaaa ha illlallah...! laaaa ilaaaaha illla llah!”

Berguntur-guntur koor dzikir itu. Menggelegar. Seperti hendak meruntuhkan seluruh tembok bangunan ini.

“Illallah! Illlallah!”

Kulihat dupa semakin mengepul. Ruangan sudah menjadi semakin putih. Mata semakin perih. Beberapa di antara jamaah bahkan terbatuk di tengah dzikir mereka. Tapi mereka tidak berhenti. Kemenyan ditambah lagi. Kecepatan dzikir ditambah, lebih cepat lagi.

“illallah! Illallah!”

Kukejapkan mataku. Sugi menggeleng-gelengkan kepala, seirama dzikir bersama. Matanya terpejam. Tubuhnya menghentak-hentak. Mulutnya menganga. Sengaja sedikit kusenggol pahanya dengan ujung kaki. Tampaknya ia tak merasakan apa-apa. Mungkinkah mereka telah ekstase?

“Illallah! Illallah!”

Mataku semakin perih. Memaksaku memejam. Kepalaku juga pening. Dan semakin berputaranlah otakku begitu indera penglihatanku terkatup. Aku seperti melayang. Seluruh bulu di tubuhku seperti berdiri. Aku merinding. Sebentar kemudian, keringat dingin mulai meleleh. Aroma dupa semakin menyedak. Kepalaku semakin berat. Tiba-tiba, pintu ruangan itu seperti terbuka. Seorang tua berjubah hitam-hitam dengan secepat kilat melayang. Lalu mengambang di tengah ruang. Kukerjap-kerjapkan mataku. Aku tak percaya. Aku tak percaya.

“Allahu!”

Dan dzikir itu berhenti...



Kupejal-pejalkan mataku yang pedih. Sosok hitam-hitam itu sudah tidak ada. Ah, siapakah dia? Apakah itu hanya bayang-bayang yang bermain di imajiku saja?
Di tengah, sang asisten mendehem panjang. Suaranya bergetar, seperti orang yang tidak memiliki kontrol lagi terhadap dirinya sendiri.

“Shalatun ‘ala thaha!”

Dan bersamaan dengan suara itu, ia melempar entah apa ke arah dupa. Asap menjadi berlipat-lipat. Aroma harum semerbak kembang menyeruak. Menyesakkan dada dan otak. Seperdetik kemudian, seluruh penjuru ruangan mengumandangkan shalawat. Para jamaah tetap bersila, hanya saja, sekarang tidak lagi mengikuti irama yang menghentak. Namun, tubuh mereka seperti lunglai, bergoyang-goyang mengikuti irama shalawat yang gemulai.

Sungguh, jika tidak karena sugi di ruangan ini, aku sudah keluar dan pergi. Mataku pedih. Otakku mendidih. Perutku mual. Tubuhku lemah tak bertenaga. Seperti akan muntah saja.

Seperempat jam kemudian, kepalaku terasa semakin berat. Mataku pun demikian. Suara-suara, bentuk-bentuk, dan aroma menjadi kabur. Sekali lagi, dalam pejaman mata yang diiringi desisan dzikir itu, aku melihat sesosok hitam-hitam melesat menuju tengah ruang. Aku tidak tahu, apakah ini kenyataan? Sosok hitam itu bukan orang tua seperti yang kulihat pertama tadi. Ia seorang gadis nan jelita dengan mata molar-molar dan alis yang mbulan sabit. Rambutnya gemulai, mengular dari balik jilbabnya yang tidak terlalu panjang. Tubuhnya gemulai. Melingkar-lingkar seperti peer, pejal dan berputar. Kakinya yang jenjang, seperti bergemiricik dengan gelang kaki yang diberi kerincingan. Ya, ya, ia mulai menari. Tangan langsatnya melesat ke kanan dan ke kiri, lalu menghentak bersamaan dengan tubuhnya yang tertarik ke belakang, memperlihatkan lekuk-lekuk indah perempuan. Ah, apakah aku bermimpi?
Gadis itu kini mengelilingi lingkaran. Ia cibakkan air cawan yang diambilnya dari tengah lingkaran kepada setiap jamaah. Setiap orang yang didekatinya menengadah pasrah. Membuka mulutnya lebar-lebar, dan membiarkan mulutnya dibasahi air cawan. Dengan lincah, ia seperti meloncat dari satu jamaah ke jamaah yang lain. Dan semua itu, semua gerakan indahnya itu, dihiasinya dengan senyum terkulum yang basah. Ah, gadis itu melesat. Hilang, beberapa langkah sebelum tiba bagianku menengadahkan mulut. Bersamaan dengan itu, tubuh ini mendadak bergetar hebat. Ada kegalauan yang menggebalau di dasar jiwaku, meletup-letup, merajuk-rajuk. Ah, mengapa tiba-tiba aku merasa kehilangan segalanya begitu gadis itu raib? Ah, mengapa tiba-tiba aku merasa menyesal tidak mendapatkan percikan air cawan dari gadis itu? Mengapa tiba-tiba saja air mataku meleleh, seakan baru saja putus cinta pertama kalinya?

Belum sempat aku menguasai diri, asap hitam menguasai seluruh ruangan. Gelap, sedikit pun tanpa cahaya. Aku seperti sendiri. Seakan berada di alam lain yang tak kumengerti. Aku begitu takut. Di kubur kah aku? Kupandangkan mataku ke seluruh penjuru. Gelap. Hanya gelap. Tak ada setitik pun api untuk sekedar membuat remang-remang. Pekat. Bahkan aku tak tahu, aku memejam atau tidak.

Ohoy, tunggu. Tampaknya ada sulur-sulur cahaya dari depan sana? Ahai, siapakah dia yang memantik api di tempat segelap ini? Jamaah lain kah? Tapi mengapa terasa sedemikian jauh? Aha? Jauh? Tidak. Cahaya itu semakin besar. Ah! Tidak hanya satu! Itu sepasang cahaya! Ohooou! Cahaya! Aku merindukanmu! Aku menghendakimu! Terangilah ruangan ini. Barang sekejap!

Namun, semakin lama kupandangi, cahaya itu semakin menakutkanku. Ah, tiba-tiba seluruh keringat di tubuhku seperti meleleh dengan cepatnya ketika kusadari bahwa dua cahaya itu seperti sepasang mata. Ah, apa lagi ini?

Dan aku kaku. Beku. Tak dapat bergerak. Tak dapat bernafas. Dua cahaya itu tepat di depanku sekarang. Dan aku sadar, dua cahaya itu adalah sepasang mata ... seekor ular naga!

Aku kucak-kucak mataku. Aku pejamkan, aku buka lagi. Namun, sepasang mata itu tidak juga pergi. Ia seperti menatapku dengan penuh dendam, dengan kebuasan hendak menyantap tubuhku. Seluruh bulu di badanku serasa berdiri. Alam ini menjadi sedemikian dingin. Dan aku ingin mati saja. Aku ingin musnah saja daripada harus berhadapan dengan desisan hewan buas di depanku.

Terpikir olehku untuk lari, tapi tubuh ini rasanya mati. Otot-ototku seperti tak terkendali. Aku terduduk, dan kurasakan selangkanganku menghangat. Saat itu, hanya nama tuhan yang kusebut. Kusebut. Kusebut berulang-ulang. Aku pasrah. Total. Hingga aku tak tahu lagi, di mana aku, dan di mana hewan buas itu. Aku hilang. Hewan itu hilang. Aku mengawang. Entah di mana. Aku tak ada.

***

Sugi, bagiku adalah sebuah keajaiban. Aku tahu itu sejak pertama kali bertemu di bis antar kota jurusan solo yang penuh penumpang itu.

bersambung...

No comments: