Zemgra-Gurdthdut

Rabu, 25 juni 08

Kami membagi-bagikannya. Sama rata. Tak ada satu pun yang lebih barang setegukan. Tiada. Gurun ini terlalu tandus untuk diarungi dengan dada yang panas dan tenggorokan yang menggerogok.
“Berikan aku kesekian tegukan, kekasih...”
Tapi tak ada jawab. Hanya senggukan airmata. Sebagai tanda. Sebagai makna. Hausku. Dahagaku. Gelegak jiwaku. Tak tersentuh mataair cinta.
“Kuda-kudaku sudah kupacu. Kemalasan sudah kupaku. Semangat dan gelora syahwat sudah kurayu. Kurang apalagi?”
Kami, aku dan para kekasihku, sejak bertahun-tahun yang lalu tak pernah berhenti mengejar mimpi-mimpi. Menciptakan mentari, gerimis, dan warna-warni pelangi. Itulah mengapa kami harus menempuh gurun ini. Pelangi, tentu lebih indah dan merangsang imaji jika dicipta gurun yang menciptakan cahaya dari pantulan gunung-gunung pasir; dari uapan oase-oase; dari keringat para pelancong dan kembara yang kering diterbangkan angin...
“Berikan aku kesekian tegukan, kekasih...”
Onta-onta yang membayang di kejauhan, yang bayangan hitamnya dijulurkan mentari menjelang ghurub-nya, terlihat mengangguk-angguk, menahan beban di punggung dan punuk. Kami bergerak. Menyeruak. Menampik semua gelegak dan kering di ujung telak.
“Kita harus kejar mimpi itu, Kekasih. Sebentar lagi malam. Ku tak mau ia terbang sementara kita hanya duduk dan bungkam!”


Kamis, 26 Juni 2008
10:09
Aku di sini karena cinta, kekasih. Tak ada lain. Dengarkah engkau gemeretak tulang-tulang kerinduan yang berpacu bersama jantungku?
Sebelum hari ini, burung-burung memang tak pernah bersuara merdu. Tetapi maafkanlah kekhilafan para burung! Mereka suka terbang ke sana ke mari, dan siapa tahu, karenanya mereka bosan atau terpengaruh suatu apa. Lunturkan dan ampuni dosa para burung, kekasih. Mereka yang punya sayap, memang suka terbang dan hinggap.
Aku di sini, kembali datang. Melempar secercah tabik dan sujud kegalauan. Tasbih dan tahmid tak putus-putus pula. Masihkah engkau marah kepadaku?
Oh, kasih. Murkamu, sungguh lebih ku suka. Asal kau tak berduka; asal kau tak berairmata atau bersumpah tak pernah mengenalku selamanya.
Kasih, jika engkau ingin menjadi kecipak lautan, biarlah aku menjadi ikan-ikan yang berloncatan. Jika engkau ingin menjelma angin samudra, biarlah ku camar-camar yang diterbang-tamparnya. Jika engkau kembali ke darat, lalu hendak menjadi debu-debu kemarau, biarkan aku menjadi jalan, rumah, dan bangunan-bangunan yang menangkap engkau. Oh, biarkan aku memujamu. Setiap waktu. Setiap hembus paru dan detak jantungku.
Semalam, aku bermimpi—ah, bukan bermimpi; tepatnya, aku memimpi—kita bersama lagi. Duduk di atas kursi-kursi dari mutiara berkerlip-keliuk. Lantai berlapiskan pualam berkilau, melontatkan cahaya, dan setiap cahaya yang menyentuhnya. Ah, angin sepoi bahkan beraroma surga. Kikik cengkerik, di kejauhan yang sayup samar terdengar, seperti orkesta yang mengharu biru, menghanyut-tenggelamkan jiwa. Lalu kau berkata di pucuk telingaku, “Kasih, di surgakah kita?” Dan senyum manismu, kasih, senyum yang akan selalu kuingat itu, mengembang hingga seluruh jagad berwarna jingga. Kasih, suguhkan seluruh cintamu dalam peluk kecupmu!

Kamis, 26 Juni 2008
10:09
Sejak senin kemarin, sejak kita bertemu untuk pertama kali, aku sudah melihat dirimu sebagai samudra yang tak pernah berhenti bergolak, Kawan. Aku tahu, di dalam jiwa kalian ada api yang terus meletup-letup. Menghentak-hentak. Mencoba memberontak.
Hari ini sudah hampir selesai. Pertemuan ini. Sungguh, tubuh lelahku, rasa kantukku, seakan menguap menguar bersama bahagia ketika para kalian begitu antusias mengerjakan tugas-tugas, bersemangat menuliskan karya dan imaji. Duhai, tahukah kalian, tidak ada sedikit pun rasa ingin mengajari kalian! Mengajari, berarti kalian diajari, berarti kalian menjadi objek. Tidak. Kami hanya ingin kalian dapat belajar sendiri. Kita sudah meniup balon. Kita sudah bermain penokohan. Kita sudah bermain wawancara. Kita sudah membikin puisi, cerpen, dan tulisan lainnya. Masihkah kita harus termenung setelah ini, dan memupuk keraguan dan kepesimisan?
Tidak, kawan. Kalian, dan juga kami, marilah bergandeng tangan. Menyusur jalan mendaki dan tebing curam. Jika semangat telah dititahkan, takkan ada halangan, meski itu bumi yang bergoncang.
Kawan, selamat berjuang. Selamat bergerilya merengkuh cita-cita.

10:21 wib

Jika engkau tak juga menutup pintu itu, debu-debu akan segera datang kepadamu. Melingkupi. Menindihi. Dan engkau, sekali lagi, akan terkubur sejarah yang mengabadi. Memprasasti.

10:24:13
“Jangkrik!” ia kembali mengeluh. Untuk kesekian kalinya.
Sejak tadi, ia memang sedang bekonsentrasi dengan tulisan-tulisannya. Dan mereka, para kenalan itu, datang silih berganti. Bertanya ini itu, bercakap begini begitu.
Dan ia terus saja berjangkrik-jangkrik dalam hati, hingga kopi itu datang. Ia mengulurkan tangannya setelah mengucap terimakasih. Begitu satu seruputan kopi membasahi bibirnya, ia berdecak kagum. Ah, alangkah nikmatnya kopi Rembang ini! Pahit, manis, menjadi satu. Ah. Siapakah yang membikinnya? Ia menerka-nerka. Ingin rasanya, ia berhenti menulis, lalu menyusul si penyuguh untuk kemudian bertanya, berbasa-basi, dan menelusuri bagaimana ia membuat kopi. Tapi, semua itu diurungkannya, lagi-lagi, sebgaimana beberapa keinginannya yang lain.
“Hai, Katrin, bagaimana dengan paguyuban angkutan kota yang kemarin ditangkapi? Apakah engkau tidak akan membela mereka?”
Ia mendesah. Ditatapnya tajam Suhendar, kawan yang sejak tadi menikmati rokoknya seraya tak kedip-kedip melahap wajahnya.
“Su, pertanyaanmu telah membuatku jadi Asu, tahu? Aku ingin menggigitmu, lalu menggumulimu hingga puas. Kau tahu, Su, teman-teman kita di paguyuban bukan orang-orang yang berjuang atas jeritan hatinya? Kau tahu, mereka turun ke jalan-jalan karena ada sokongan dari pejabat ini dan pejabat itu? Kau mengertikah bahwa politik tingkat tinggi, konspirasi kotor, dan kongkalikong menjijikkan terjadi di sana sini? Bahkan, mereka yang mogok makan pun diam-diam memesan bakso saat malam tiba. Ah, Su, kau harus tanggap. Kau harus peka. Ini semua hanya permainan yang licik dan munafik. Di depan orang-orang mereka mengaku sebagai penggebrak, tapi di belakang, di bawah tanah, mereka menjegal!”
Suhendar hanya diam. Begitu pula ketika dia tidak melanjutkan komentarnya, melainkan kembali sibuk dengan notebook nya. Suhendar mengambil rokok lagi. Menyeruput kopi hingga dasar-dasarnya, berpamit, lalu pergi.
Dia tak berpaling. Bergeming di tempatnya. Di depan dunia yang sedang dibangunnya sendiri.

Kamis, 26 Juni 2008
11:12 wib
Mereka belum juga selesai. Sudah kukatakan berkali, membuat bulletin memang dikejar deadline; jangan sekali-sekali meremehkan dan berpangku tangan. Dalam kerja bulletin, lembur adalah sarapan sehari-hari. Caci maki dan lempar tanggung jawab harus dibuang jauh-jauh. Team redaksi harus menjadi bola yang bulat,yang menggelinding dengan cepat begitu ada jalan menurun; yang melesat secepat kilat begitu ada tendangan kaki membentur kulitnya. Jika bola itu tak bulat; jika kata sepakat tak didapat, team hanya sekedar gerombolan yang tidak beda dengan para penumpang dalam satu bis atau angkutan...

No comments: